Jumat, 26 Juni 2015

Damai Pagi Di Tepi Danau Sunyi


Banyak orang yang bertandang menuju dieng untuk sekedar mengejar indahnya sunrise. Beberapa tempat memang terkesan menarik untuk memandang sang surya muncul di ufuk timur. Mendengar kata sunrise dan dieng tentu Si Kunir dan Gunung Prau adalah destinasi pertama yang terlintas. Tetapi, adakah yang berfikiran untuk menikmati sunrise dari Ranu Kumbolonya jawa tengah ?
Photo Credit : Rifqy Faiza Rahman | Papanpelangi.co
Sepeda motor yang kami tumpangi mulai menderu dihajar tanjakan berbatu yang cukup terjal, diselingi rintik hujan "kletik" dan suasana dingin dataran tinggi dieng. Destinasi pada hari kelima Journey to the west kali ini adalah Telogo Dringo. Telaga cantik dengan bukit-bukit yang mengapit bak Ranu Kumbolo yang ada di Gunung Semeru. 

Telaga ini berada di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Lokasinya memang agak jauh dari kompleks wisata dieng, penunjuk arah menuju tempat ini juga masih minim. Satu-satunya penunjuk arah kami temui  ketika akan masuk kawasan wisata kawah candradimuka. Karena itu lah, kami sempat kebingungan saat menemui persimpangan tepat sebelum masuk telaga. Beruntung masih ada warga sekitar yang dapat kami tanyai mengingat sepinya jalanan menuju tempat ini.
 
"Monggo mas, cek aku isok melok ngiyup (tertawa lepas)"

Begitulah kata salah satu pemancing saat saya meminta ijin untuk mendirikan tenda di sekitaran danau. Hujan memang mulai lebat, beruntung kami berhasil mendirikan tenda tepat sebelum hujan benar-benar lebat. Satu-satunya tenda yang berdiri di pinggiran danau, tanpa tetangga tanpa pelancong yang lain. Yang ada hanyalah warga lokal yang datang memancing dan pulang ketika hari mulai gelap.

Laksana surga pagi ini

Pagi di tepi Telaga Dringo
Photo credit :Rifqy Faiza Rahman | papanpelangi.co
Pagi belum sepenuhnya hinggap, mungkin dapat dibilang masih malam. Mas Rifqy sudah keluar tenda sambil menenteng tripod dan kameranya. Saya lebih tergoda untuk mengeluarkan kompor sekedar membuat kopi. Bintang yang gemerlap memang sangat cocok dinikmati dengan secangkir kopi. Setelah puas segera ku menyusul Mas Rifqy yang telah berdiri tegap di belakang kamera siap untuk mengambil gambar dari berbagai sudut.

Dingin tak lagi terasa kala sang surya perlahan muncul. Gradasi warna yang tak mungkin diciptakan manusia menghipnotis mata dan sukses membuat terpana setiap insan yang kebetulan hanya ada saya dan mas Rifqy disana. Andai saja vixion putih tunggangan kami dapat bicara mungkin akan menyatakan hal yang sama. Sungguh goresan tinta yang tak akan pernah ditemukan di lain tempat. 

Belum genap sang surya menampakkan diri, Mas Rifqy telah mengajak menyiapkan sarapan. Bukan tanpa sebab, melainkan karena banyak destinasi yang belum dikunjungi sedangkan malam ini kami harus sudah tiba di Solo dan menginap di rumah teman yang ada disana.

Gravitasi tempat ini terasa sangatlah kuat. Tak rela rasanya untuk melangkahkan kaki pergi dari sini. Damai suasana serta lembutnya angin yang berhembus semakin membuat diri terlena untuk berlama disini. Tak ada deru mesin kendaraan bermotor, tak ada bising perkotaan. Sungguh tempat yang tepat untuk mengistirahatkan fikiran. Kami pun mengalah, sangat rugi jika suasana seperti ini dilewatkan. Kopi pun kembali menemani pagi cerah ini di tepian danau.

Waktu telah menunjukkan pukul 08.30 WIB yang artinya mau tidak mau kami harus segera berkemas dan melanjutkan perjalanan. Satu persatu barang didalam tenda kami keluarkan untuk kembali ditata didalam carrier 75+10 yang kami bawa. Sembari menata barang kami berdua asyik berbincang hingga tanpa sadar tenda kami melayang tertiup angin dan hampir tercebur ke dalam danau. Dengan cepat ku berlari mengejar tenda dan menangkapnya tepat sebelum masuk ke bibir danau. Kejadian inilah yang membuat pagi kami penuh dengan tawa.

Foto bareng sebelum beranjak
Photo credit :Tripod sama kameranya Mas Rifqy
Setelah genap barang masuk ke dalam carrier, Mas Rifqy kembali mengeluarkan kamera dan tripodnya untuk mengambil foto terakhir sebelum meninggalkan tempat ini. Vixion putih juga kembali bersiap untuk membawa kami menuju destinasi-destinasi selanjutnya. Sebelum beranjak menuju Solo, kami sempat mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di kawasan dieng seperti Kompleks Candi Arjuna, Kawah Sikidang dan Telaga Warna yang mungkin dapat saya ceritakan di lain kesempatan.

Jauhar Web Developer

Minggu, 21 Juni 2015

Balada Ranu Istimewa


Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/)
Rembulan terlihat menawan malam ini. Bias langit gelap menyelimuti sebagian atap dunia. Bintang sedikit terlihat tertutup polusi cahaya perkotaan.

Ingat betul tatkala gemerlap bintang menemani secangkir kopi di bibir danau dambaan para pelancong. Ranu Kumbolo, begitu mereka menyebut. Tenang malam mengisyaratkan rasa capai yang dialami para pendaki lain yang hendak naik ataupun hendak turun. Diselingi bisikan hewan nocturnal yang sibuk mencari mangsa, rezeki yang diberikan oleh sang pencipta.


Ada rasa kagum sekaligus kecewa yang ku rasa. Memang gulungan kecil riak air terlihat menawan walau malam menggelapkan pandangan, tetapi padang rumput yang mulai mengelupas tak kan bisa membohongi suasana. Indah semak berbunga tak lagi banyak ditemukan. Lembah nan hijau mulai ternoda warna coklat khas tanah.

Kabut tipis menyelimuti pagi ranu
(Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/))
Mentari yang muncul di ufuk timur selalu bisa menyita perhatian setiap insan. Dua bukit yang berdamai dengan ranu menyambut kedatangan mentari dengan senyum yang terlukis  diantara keduanya. Hangatnya memberi kebahagiaan pada air ranu yang diekspresikan dengan lompatan-lompatan kecil sehingga tercipta kabut tipis bagai awan yang menyelimuti permukaan ranu.
 
Bising hewan nocturnal mulai tergantikan riuh para pendaki di masing-masing rumah siput mereka. Beberapa mencoba berdamai dengan air ranu yang sepertinya cukup dingin untuk sekedar digunakan membasuh muka. Separuh mereka memilih duduk terdiam didepan kompor dengan cangkir mengepul di tangan mereka.

 
Rindang pepohonan bak penawar pahit rasa kecewa. Jernih air mulai ternoda dengan warna kecoklatan tanah. Genangan minyak cukup jelas terlihat tak akur dengan bening ranu. Ikan-ikan kecil tak mau lagi bermain di tepian. Kail dan senar terlihat menjalar ke tengah danau ditinggal begitu saja tanpa adanya tanggung jawab.

Setitik kehidupan sekitar ranu
(Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/))
Ironi terlihat mengingat kesakralan danau yang selalu dijaga sebagian orang. Air suci yang diagungkan oleh beberapa umat. Ternoda oleh tingkah manusia yang tak bermoral. Penikmat alam yang hanya egois memenuhi hasrat. Yang hanya turut menyumbang kebobrokan bukan malah turut melestarikan. Entah kapan Sang Semeru dapat berbenah. Entah kapan ranu dapat kembali bersolek. 

Tak ada yang salah memang jika setiap insan ingin turut menikmati keindahannya. Bagaimanapun terdapat aturan tidak tertulis yang hanya berdasar pada  pribadi setiap orang. Kepintaran dan ilmu pengembangan diri yang tak akan didapatkan di bangku sekolahan. Inti dari sebuah kehidupan sosial. Menghargai sesama ciptaan tuhan walau sebuah makhluk yang tak kan terfikirkan untuk di hargai. Karena sejatinya dia pun turut menjadi tiang kehidupan, tonggak utama habitat fauna yang ada.


"semoga keindahan malamnya turut memberi kesan terhadap cerahnya siang"
 

Jauhar Web Developer

Kamis, 11 Juni 2015

Inikah Fungsi Gunung ?



Cukup lama sepertinya ku tak meraba blog usang ini. Mohon dimaklumi saja lah, proposal magang dan berbagai laporan praktikum mengantri untuk segera di selesaikan.

Perlahan ku mengenang bagaimana proses pertama kali ku berkenalan dengan kegiatan mendaki. Gunung Arjuno via purwosari, track pertama yang kulalui dalam pendakian perdana yang dapat dibilang "Pendakian beneran" karena sebelumnya aku juga pernah mendaki gunung Panderman, tetapi hanya sebagai latihan fisik karena setelah mencapai puncak langsung turun kembali dengan hanya menenteng air dan roti sebagai bekal. Banyak orang bilang kalau seperti itu namanya tek-tok, entah dari mana asal usul kata tersebut.

Well, kembali lagi pada topik di awal. Pertama kali saya mendaki esensi yang saya rasakan dari kegiatan tersebut adalah ketenangan, kejernihan pikiran serta relaksasi batin. Gunung notabene merupakan tempat tirakat, pengasingan diri dari hiruk pikuk dunia. Tempat bagi orang yang ingin melupakan sejenak dunia ramainya hanya demi fokus untuk menggapai tujuan seperti mendekatkan diri pada sang pencipta, Mengistirahatkan fikiran yang lelah dirundung suara bising pergulatan dunia.

Banyak raja maupun priyayi zaman dahulu yang mencari ketenangan jiwa dengan bermeditasi di atas gunung. Bahkan ada pula yang sampai "mukso" atau menghilang karena telah mencapai tingkat abadinya setelah bertapa di atas gunung. Sungguh gunung bukan merupakan tempat sembarangan yang hanya tercipta untuk memenuhi hasrat manusia.

Indah bentang alam serta kesempurnaan pemandangan memang merupakan magnet yang kuat bagi para manusia yang haus akan objek keindahan. Tapi bukankah relaksasi dan ketengan pikiran juga didapat salah satunya dengan memandang objek keindahan tersebut ? Adakah yang berfikir bahwa sejatinya keindahan tersebut diciptakan bagi insan yang ingin mencapai ketenangan abadi ? 

Siapakah yang tidak rindu dengan suasana tenang dan hawa "adem ayem" gunung. Mungkin semua yang pernah merasakan akan mendapat candu untuk kembali. Benar-benar suasana yang pas untuk melakukan ibadah atau sekedar bertapa mengingat kepadaNya. Adakah yang mengira bahwa tujuan utama diciptakannya gunung adalah untuk beribadah mengingat padaNya.

Bullshit memang jika saya sendiri tidak terinfeksi candu dari gunung. Tetapi sebisa mungkin seharusnya kita menghormati atau paling tidak meng"ada"kan tuan rumah yang menempati gunung tersebut. Bukankah dalam ajaran agama telah diajarkan supaya kita menghargai serta menghormati sesama ciptaan ?. Bukan hanya manusia yang memiliki bumi ini. Banyak makhluk hidup lain yang kita anggap mereka hanyalah benda mati atau bahkan kita anggap tidak ada.
Tuan rumah yang berjalan tuk mengais makanan diatas tumpukan sampah para tamu
Sungguh percuma jika hanya berambisi menaklukan puncak dan mencari bukti agar orang lain terkagum atas pencapaian yang mungkin hanya dapat dirasakan segelintir orang. oke lah kalo kita hidup sepuluh sampai dua puluh tahun yang lalu. Masa dimana peralatan masih minim, jalan masih tertutup semak, dan penunjuk arah hanyalah fenomena alam. Sungguh kontras dengan hari ini yang mana peralatan semakin lengkap dan memadai.

Mendaki gunung telah kehilangan esensinya. Banyak orang beranggapan bahwa gunung merupakan tempat wisata seperti umumnya. Ya, tempat wisata. Sudut pandang ini yang membuat gunung tak lagi sakral dan perlu dihormati. Hingga banyak sekali niat buruk yang memanfaatkan ketenangan dan sepinya gunung.

Tentu masih ingat santernya berita yang menyatakan banyak kondom ditemukan di kawasan B29. Apa yang ada di benak kalian ? Freak bukan ?. Tak mungkin ada barang seperti kecuali memang ada niat sebelumnya. Bagaimana jika kalian adalah tuan rumah dan rumah kalian digunakan untuk hal tidak bermoral seperti itu ? Tentu kalian akan marah besar.
Kelakuan para tamu yang tak bermoral
Mungkin perumpamaan tersebut terlalu frontal untuk diutarakan. Tetapi ingat, itu adalah realita yang terjadi. Gunung bukan lagi tempat menempa jiwa dan mengasah kemantapan hati. Fungsinya telah bergeser sebagai tempat bersenang-senang dan berpesta bahkan melakukan hal yang dilarang agama.

Walaupun demikian, memang perlu usaha untuk dapat mendaki gunung. Tak sedikit tenaga yang harus dikeluarkan untuk mencapai destinasi yang hendak dituju di atas gunung. Fisik yang kuat serta tubuh yang fit memang harus disiapkan sebelum memulai pendakian. Tak terkecuali pengetahuan serta keterampilan juga harus dimatangkan jika tidak ingin celaka di alam bebas.

Kembali lagi, mungkin akibat sudut pandang yang telah berbelok yang membuat para pendaki hanya menyiapkan tekad tanpa ada persiapan. Menurut saya itu bukan lagi tekad tetapi itu disebut nekat. Pernah  saya dan teman-teman Gamananta didatangi 2 orang perwakilan rombongan dari kota metropolitan saat kami bersiap untuk summit menuju mahameru,

Permisi mas, mau muncak ke mahameru ya ?
Iya mas, jawab mas rifqy
Boleh kami dan rombongan gabung mas ? soalnya kami tidak ada yang tahu jalur menuju Puncak, ini pertama kalinya saya kesini.

Saya yang berada di samping mas rifqy tentu langsung berfikir negatif. Apa sih tujuan mereka sampai puncak ? Berfoto dan memamerkan ke medsos ? Hanya itu kah? Sungguh tujuan yang memuakkan. Mungkin beribu-ribu orang yang akhir ini memadati TNBTS memiliki tujuan demikian, hanya ingin menunjukkan bahwa dia mampu berdiri di atas puncak tertinggi di pulau jawa.

Arogansi demikian bukanlah hal yang perlu dibanggakan. Hanya demi sebuah foto, nyawa mereka pertaruhkan dengan tidak melakukan persiapan yang matang. Masih hangat berita tentang mahasiswa yang terjun bebas ke kawah merapi hanya demi foto yang jika salah pencet juga terbuang percuma ke recycle bin. Seharusnya hal demikian tidak perlu terjadi.

Sepertinya memang sudah saatnya kita harus kembali mawas dan berhati-hati jika hendak bertandang ke gunung. Banyak hal yang perlu diperhatikan mulai dari kesiapan fisik dan mental serta perbekalan dan perlengkapan yang memadai untuk hidup di alam bebas. Tidak lupa pernghormatan terhadap para tuan rumah juga perlu dilakukan supaya mereka juga segan terhadap kita. Secuil harapan dari saya, gunung bukan hanya dianggap sebagai tempat wisata, tetapi gunung merupakan tempat sakral yang diciptakan dengan tujuan pengasah batin dan penempaan jiwa untuk menjadi pribadi bermartabat mulya. 

"Sebuah negara tidak akan kekurangan sosok pemimpin jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung dan lautan" - Henry Dunant
Jauhar Web Developer