Senin, 30 Maret 2015

Volunteer Bagi Warga Kelud


Dentuman keras bertubi-tubi dari ufuk barat kota malang. Asap tebal membumbung tinggi disertai warna merah menganga langit diatas kota Kediri. Kerikil berjatuhan pasir berhamburan. Sontak tergugah dari lelap malam para warga Kediri ngantang. Begitupun saya dan mas risky yang kala itu tengah asyik menonton televisi.

Letusan gunung kelud yang terjadi pada 14 februari 2014 merupakan letusan dahsyat yang mampu membuat kota Kediri dan sebagian kabupaten malang tertutup dengan pasir. Abu vulkanik yang keluar dikabarkan terbang sampai banten. Seminggu penuh kota Kediri berlangit muram, tertutup durjana kabut tebal abu vulkanik. Hirup nafas tersengal penuh kotoran.

Sehari setelahnya Gamaers segera berkumpul. Kami bergerak cepat untuk menghimpun masa dan dana yang akan diserahkan kepada pihak mitigasi bencana di kota Kediri. Beberapa relawan dari Gamananta juga siap berangkat menuju lokasi. Sebagian lagi stay di malang untuk mengumpulkan dana serta mengkoordinasikan kawan-kawan yang ada dimalang.

Kegiatan penggalangan dana yang kami lakukan ternyata cukup sukses. Hanya dalam beberapa jam saja dana yang terkumpul lumayan banyak. Sehingga keesokan paginya kami siap berangkat untuk segera mengalokasikannya untuk korban.
Tim volunteer Gamananta
Dari kiri : Mas Roni, Mas Aga, Mas Riski, Mas Lutfi, Mas Rifqy, Anggrek, Jeanny, Mbak Siwi, Oqi, Mas Kur
Relawan yang berangkat kali ini ada 10 orang menggunakan 2 mobil penuh dengan logistic. Mobil 1 ada mas rifqy(driver), mas kur, saya, mas lutfi dan anggrek. Sedangkan mobil 2 ada ma saga(driver), mas risky, jiny, mbak siwi dan mas rony. Jalan menuju Kediri via ngantang ditutup total akibat longsor dan licin. Terpaksa kami mengambil jalan memutar via mojokerto.

Sampai disimpang gumul yang merupakan pusat mitigasi kami segera melapor dan mendata logistic yang kami bawa. Akhirnya kami memutuskan untuk membawanya ke desa ngancar di ring 1 sekitar 5 km dari puncak kelud. Sebelum menuju ngancar kami sempat di briefing oleh petugas tentang penjelasan singkat terkait bencana. Ini untuk membekali kami jikalau ada sesuatu yang tidak diinginkan seperti aliran lahar dingin yang mungkin bisa muncul ataupun letusan susulan.

Briefing oleh petugas sebelum mendistribusikan bantuan

Keesokan harinya

Setelah men drop logistic di desa ngancar kami segera kembali menuju simpang gumul untuk bermalam. Keesokan harinya kami membantu para volunteer untuk memindahan dan mendata perlengkapan yang dibutuhkan para korban seperti tikar. Tikar yang telah didata selanjutnya dimasukkan ke dalam truck dan didistribusikan kesetiap lokasi pengungsian yang tersebar di seluruh kota Kediri.

Sebenarnya besok presiden RI kala itu, susilo bambang yudoyono akan hadir dan meninjau wilayah. Seluruh volunteer dan para petugas diminta bersiap dan membersihkan jalur. Tetapi karena keterbatasan waktu kami terpaksa harus kembali menuju malang.

Berfoto sebelum kembali menuju Malang
dengan background jalan yang penuh dengan pasir
Kabar yang terdengar yaitu jalur via ngantang telah dibuka dan dapat dilewati. Akhirnya kami menuju malang via ngantang. Keadaan di ngantang ternyata lebih parah dari kota Kediri. Langit benar-benar kelam. Daun berwarna kusam. Sungai tak lagi jernih. Sempat kami mampir ke balai desa ngantang (saat itu dijadikan posko pengungsian) dan mengecek kondisi para korban. Hasilnya ternyata korban disini lebih parah keadaanya. Banyak bahan makanan yang kurang, popok bayi, masker, air minum juga belum tercukupi. Para relawan juga masih sedikit ditemukan. Setelah berbicara panjang lebar dengan bapak lurah akhirnya kami memutuskan akan kembali menggalang dana dan akan didistribusikan didaerah tersebut. 
Jauhar Web Developer

Minggu, 22 Maret 2015

Pos Demi Pos Jalur Mistis Purwosari


Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/)

Mendung menggelayut sore ini. Mengingatkan akan kisah perjalanan setahun silam bersama teman-teman Gamananta. Tepatnya tanggal 11-13 Februari 2014, melintasi lebatnya alas lali jiwo menuju Pos 5 pendakian gunung Arjuno via Purwosari, Eyang Mangkuturomo. Jalur Purwosari sebenarnya merupakan jalur yang diperuntukkan kepada para peziarah sebab banyak sekali tempat yang dikeramatkan. Karena itulah tiap pos memiliki nama dan hawa yang “mistis”.

Berikut ini adalah beberapa pos pendakian gunung arjuno via purwosari :

1.Goa Ontobogo
Gerbang masuk Guo Onto Boego
(sumber : http://kparastapala.blogspot.com/)

Setelah berjalan sekitar satu jam dari basecamp Tambakwatu maka kita akan sampai di pos 1 yaitu Goa Ontoboega. Nama Onto Boega sendiri berasal dari kata “anta” yang berarti tanpa batas dan “boega” yang berarti kelokan. Sehingga anta boega dapat diartikan naga yang memiliki kelokan yang tanpa batas (sangat besar).

Pengambilan nama Anta Boga bersumber dari nama tokoh dalam dunia pewayangan yang bernama Sang Hyang Antaboga atau Sang Nagasesa alias Sang Hyang Basuki. Tokoh ini memiliki wujud seekor naga dan menjadi penguasa dasar bumi.

Dari depan terlihat adanya patung naga kembar dan gapura bertuliskan “Guo Onto Boego” Yang merupakan pintu masuk jika kita ingin menuju goa ini. Disini kami hanya beristirahat sebentar karena tujuan kami malam ini adalah menginap di pos kedua yaitu Eyang Tampuono.

2. Tampuono
Pos 2 Tampuono
(sumber : http://zacky-achmat.heck.in/)
Sore hari telah menjelang saat saya mulai berjalan dari basecamp Tambakwatu. Untuk mencapai pos ini dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan.Dan saya pun tiba di pos 2 ini saat langit telah gelap. Penerangan yang ada hanyalah senter yang menempel dikepala.

Begitu tiba di pos 2 ini, saya langsung disambut oleh gonggongan anjing milik kuncen pos Tampuono. Sebenarnya saya dan teman-teman Gamananta ingin mendirikan tenda, tetapi oleh kuncen pos 2 kami disuruh untuk menginap saja di pondok para peziarah yang banyak berdiri di pos ini.

Sumber air disini cukup melimpah. Untuk mengambil air kita perlu berjalan sekitar 15 menit mengikuti jalan semen kearah Sendang Dewi Kunti. Di sumber air ini juga terdapat kamar mandi yang diperuntukkan bagi para peziarah. Disini pun terdapat bangunan dan makam yang bertuliskan Dewi Kunti.

3. Eyang Sakri
Pos 3 Eyang Sakri
Esok harinya setelah menyiapkan sarapan pagi kami segera pamit kepada kuncen pos 2 untuk melanjutkan perjalanan. untuk menuju pos 3 hanya dibutuhkan waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 10 menit. Di pos 3 Eyang Sakri ini saya hanya berhenti sejenak untuk melepas lelah sembari menunggu teman-teman yang tertinggal di belakang.

Di pos 3 ini terdapat bangunan kecil semacam petilasan yang tertutup rapat. Biasanya tempat ini digunakan para peziarah untuk bertapa atau untuk mencari apa yang mereka inginkan. Tentunya bagi mereka yang percaya barang klenik seperti itu.

4. Eyang Semar
Pos 4 Eyang Semar
Hanya sejenak saja saya singgah di pos 4 ini. Hanya sekedar melepas lelah setelah dihajar dengan trek yang terus menanjak tanpa bonus. Pos 4 ini dijuluki pos Eyang Semar karena konon tempat ini merupakan tempat singgah Eyang Semar saat mengantar Wisnu yang akan bertapa di Mangkutarama.

DI tempat ini terdapat gubuk-gubuk yang dibangun oleh para peziarah dan dapat digunakan untuk bermalam. Tak lupa terdapat arca Eyang Semar yang menghadap ke arah timur. Dibelakang gubuk juga ditemukan sumber air yang mengalir dari pipa menuju bak penampungan.

Sejenak beristirahat, kami bertemu seorang pendaki yang bermalam di salah satu gubuk. Dari penuturannya dia telah seminggu disitu dan telah bolak-balik menuju puncak ogal-agil. Setelah arjuno dia berencana untuk mendaki gunung-gunung yang lain sepulangnya dari sini.

5. Eyang Mangkutoromo
Pos 5 Eyang Mangkutoromo
Dari pos 4 Eyang Semar kibaran bendera merah putih dan militer terlihat. Itulah pos 5 Eyang Mangkutoromo. Destinasi saya kali ini hanyalah menginap di pos ini. Saat itu memang pendakian menuju puncak masih di tutup sehingga saya tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak.

Pos Eyang Mangkutoromo memiliki pelataran yang cukup luas. Sehingga walaupun terdapat gubuk yang cukup besar saya dan teman-teman memilih mendirikan tenda agak jauh dari gubuk. Dari sini puncak ogal-agil terlihat sangat kecil. Menandakan perjalanan untuk mencapai puncak masihlah jauh.

Mula-mula anjing milik kuncen pos 5 ini kurang ramah terhadap saya. Terus menggonggong dan seperti mengancam. Tetapi kejadian suatu pagi saat saya pergi mengambil air menjadikannya jinak terhadap saya. Saat saya mengambil air anjing tersebut datang bersamaan dengan 7 anjing liar lainnya terus menggonggong dan hendak menyerang saya. Cukup lama saya memperhatikan matanya tetapi lama kelamaan satu persatu dari mereka pergi. 

Setelah sarapan pagi dihari ketiga saya dan teman-teman Gamananta merapikan tenda dan pamit kepada kuncen pos eyang mangkutoromo untuk segera turun. Pukul 9 pagi kami kembali melangkah tetapi kali ini turun untuk kembali menuju Malang.

Jauhar Web Developer

Minggu, 15 Maret 2015

Hari Cerah Untuk Pacitan [Part 3] (End)



Hujan mengguyur pagi kedua kami di Pacitan. Langit gelap sempat memutuskan asa untuk sekedar berjalan mencari camilan. Duduk santai bercengkrama sambil menggenggam teh buatan bulek Afri cukup meredakan rasa dingin. Rencana kami hari ini yaitu sekedar mengunjungi goa-goa yang tersebar di Pacitan.

Sebenarnya terdapat ratusan goa di Pacitan, hanya saja yang telah booming hanya beberapa seperti goa gong, goa putri dan goa tabuhan. Terbatasnya waktu yang kami miliki memaksa kami hanya mengunjungi goa gong. Goa yang menjadi salah satu ikon penarik wisatawan dari berbagai penjuru.

Pukul setengah 10 hujan mulai reda dan langit kembali membiru. Segera Saya dan Topek membuka  terpal yang menutupi sepeda motor kami. Suara mesin motor pun bersahutan. Sebelum berangkat tak lupa kami menyiapkan kamera, tripod dan juga senter.  For your information, di goa gong jika kita tidak membawa senter maka akan selalu dikejar-kejar pedagang yang menyewakan senternya.

Sebelum mencapai bibir goa kita harus berjalan meniti anak tangga dan melewati pasar yang menjual berbagai cendera mata khas Pacitan. Patung dwarapala juga siap menyambut para wisatawan yang berkunjung. Oiya, di sekitaran tempat parkir dapat kita temukan para pedagang yang memamerkan batu akiknya. Salah satu potensi kota Pacitan memang.

Berfoto sebelum memasuki goa gong
Blower-blower besar berputar dalam tubuh goa. Mengalirkan udara segar dan membuat sirkulasi udara tetap terjaga. Warna warni lampu bak pelangi menerangi setiap relung goa. Stalaktit dan stalakmit saling menghujam memberi goresan bentukan alam eksotis khas gugusan karst Gunung Sewu. Tetesan-tetesan air berguguran dari stalaktit yang menggantung. Suasana lembab begitu menyeruak, sensasi tersendiri memang.

Ini sebab kami datang di pertengahan musim penghujan, jalan yang licin, kelembaban tinggi, bahkan air menetes bak gerimis. Resiko memang, tetapi pagar besi yang terpasang sebagai lintasan perjalanan di dalam goa cukup membantu. Goa ini memang telah disentuh oleh pihak pariwisata Pacitan sehingga sarana prasarana juga telah terkelola dengan baik. 

Panorama dalam goa yang memukau
Puas berkeliling goa, kami putuskan untuk segera pulang. Kami memang harus kembali menuju Malang sebelum sore. Kondisi jalanan di daerah wisata goa gong sangatlah mempesona. Jalan berkelak-kelok yang sangat mulus dengan pemandangan batu karst berbentuk “conical hills” yang menjulang disisi kanan dan kiri dapat membuat kita lupa bahwa kita berada di Indonesia. 

Sebelum masuk ke perkampungan nenek Afri kami berhenti sejenak di depan goa kalak. Goa ini berada di desa Kalak Donorojo Pacitan. Cukup samar terlihat, tetapi jika kita memperhatikan dengan seksama maka akan terlihat tulisan besar “GOA KALAK” yang mulai tertutup semak belukar. Konon goa ini merupakan pertapaan Prabu Brawijaya dan juga pernah digunakan sebagai tempat tirakat para tetinggi Negara.

Goa kalak belum terkelola dengan baik
Rutinitas kembali melintas di angan-angan. Setelah istirahat sejenak dan menyantap makan siang saya segera merapikan baju dan barang-barang lainnya. Tak lupa berpamitan dengan seluruh anggota keluarga, bersalaman dan minta doa agar selamat diperjalanan. Pukul 2 siang kami siap menempuh jalan panjang menuju Malang. Melewati berbagai kota dan siap meniti petualangan di kesempatan berikutnya.





Jauhar Web Developer

Minggu, 08 Maret 2015

Hari Cerah Untuk Pacitan [Part 2]



Ada tiga destinasi pantai yang kami kunjungi kali ini. Setelah sarapan dan bersih diri, kami segera meminta ijin kepada nenek Afri untuk keluar menuju pantai. Langsung saja inilah 3 destinasi pantai yang kami kunjungi kali ini :

1. Pantai Banyutibo

Bentang alam Pantai Banyutibo
Lokasi pantai berada di desa Widoro, Kecamatan Donorojo, Pacitan. Sekitar 10 menit perjalanan dari rumah nenek Afri yang berada di desa Kalak, Donorojo Pacitan. Kondisi jalan untuk mencapai pantai ini sudah cukup bagus, tetapi sekitar 500 meter sebelum pantai jalanan yang berupa jalan rabat yang sudah mulai rusak sehingga para pengendara harus berhati-hati.

Gemericik air yang terjun berpadu dengan hembus merdu angin pantai merupakan alunan unik khas kesempurnaan alam banyutibo yang segera menyambut kami. Sesekali ombak bergemuruh beradu kuat dengan tebing yang menjulang. Pemandangan laut tak berujung dapat kita nikmati dengan berjalan ke ujung tebing. Kali ini kami hanya menikmati sembari berpose dari atas. Indah alam banyutibo memang suatu background alam yang menarik untuk disimpan dalam memori. 

Berpose dari atas tebing Pantai Banyutibo
Beberapa warung mudah ditemukan di sekitaran pantai. Banyak yang menjajakan makan dengan menu ikan bakar ataupun masakan laut lainnya. Sehingga tidak perlu susah membawa bekal ketika pergi kesini. Karena belum adanya pengelolaan sehingga tidak ada tiket masuk, kita hanya perlu membayar kas parkir yang selanjutnya digunakan untuk memperbaiki sarana prasarana sekitar pantai.

2. Pantai Buyutan

Pantai Buyutan dari atas tebing
Kita bergeser sedikit menuju pantai buyutan. Jaraknya cukup dekat yaitu sekitar 1 kilometer dari pantai banyutibo. Jalanan menuju pantai juga sudah mulai diperbaiki. Hanya beberapa meter saja jalan yang berupa makadam berbatu.

Pesona buyutan dapat dinikmati dari atas tebing atau dapat pula turun menuju bibir pantai. Dari atas tebing terlihat pemandangan rerumputan hijau bertemu putihnya pasir bak degradasi warna sempurna membentuk sebuah lukisan panorama. Tak lupa ikon pantai buyutan yang berupa batu karang ditengah laut berbentuk candi dan kapal juga terlihat jelas dari atas.

Saat saya ke pantai ini beberapa bulan yang lalu, jalan menuju ke bawah sedang dalam tahap pembangunan. Tetapi kali ini pembangunan sudah selesai sehingga kita dapat mudah membawa serta sepeda motor turun ke bawah. Dari bawah kita dapat menikmati ombak kecil yang sesekali menyapu pinggiran pantai sembari menikmati es kelapa muda yang banyak tersedia di warung pinggir pantai.

Berfoto bersama di bibir pantai
Mungkin karena kami datang pada hari aktif maka pelancong yang datang relatif sepi dan kami tidak dikenakan tarif masuk maupun tarif parkir. Tetapi jika datang saat hari libur maka akan ada petugas yang memberi tiket masuk dan membayar 3.000 Rupiah perorangnya.


3. Pantai Klayar

Sunset di Pantai Klayar
Pantai pamungkas yang kami kunjungi sebagai penutup hari ini yaitu pantai klayar. Namanya memang telah tersohor sebagai surganya pacitan. Tak pelak banyak orang yang berbondong-bondong mengunjungi tempat ini.


Dari jalanan sebelum mencapai pantai klayar keindahannya sudah tergambarkan dari susunan karang yang membentuk lekukan menyerupai hati. Lekukan ini dapat terlihat lebih jelas jika kita mau sedikit berjalan menuju salah satu tebing yang ada di sekitar pantai. Selain itu, ikon klayar yang paling diburu adalah seruling samudra. Yaitu deburan ombak yang keluar dari sela bebatuan sehingga menghasilkan bunyi menyerupai seruling. Namun dari keterangan warga sekitar sebaiknya tidak usah menuju tempat itu, karena tidak sepenuhnya aman.

Kali ini kami hanya menikmati pesona klayar sembari berjalan-jalan di tepian pantai. Satu tujuan kami, yaitu menghantar matahari tenggelam di penghujung laut nan jauh. Warna langit yang ditinggalkannya sontak menjadi orange dengan sedikit mendung hitam kelabu. Maklum karena kami kesana pada pertengahan musim penghujan.


Levitasi di birunya langit klayar
Langit yang semakin gelap membawa percikan air. Segera saya memasukkan kamera dan berlari menuju sepeda motor untuk kembali menuju rumah nenek Afri. Beruntung kami tidak diguyur hujan di tengah perjalanan. Malam kembali kami nikmati dengan mengobrol santai dan melihat foto hasil perjalanan seharian menyusuri keindahan pantai pacitan.



Jauhar Web Developer

Senin, 02 Maret 2015

Hari Cerah Untuk Pacitan [Part 1]



Sekali lagi MHPT gila memberikan ide jahat untuk kali ini benar-benar jahat.

“Budal Pacitan yok?”
“lho ya ayok”

Semudah itulah teman-teman gila ini memutuskan untuk menjelajah. Kali ini destinasi kami menuju Pacitan, kota kecil di pojok Jawa Timur ini menyimpan banyak surga tersembunyi, mulai dari pantai menawan hingga goa eksotis. Banyaknya goa yang ada membuat kota ini memiliki julukan kota seribu goa.

Semula kami ragu ketika akan berangkat, tetapi message Afri di multichat menepis semuanya.  “Ayah acc rek!”, Kata singkat tapi membuat kami ber-enam yakin untuk berangkat. Sebenarnya kami akan memulai perjalanan tepat setelah uas terakhir yaitu mata kuliah KWU yang kebetulan take home. Tetapi Sukma dan Meong ada acara jurusan yang tidak mungkin ditinggalkan. Jadilah kami berangkat keesokan harinya, 13 januari 2015.

Kami memutuskan berangkat sepagi mungkin karena perjalanan dari Malang menuju Pacitan cukuplah jauh, kurang lebih 8 jam perjalanan. Untuk itu, malamnya saya menginap dikontrakan Topek karena jarak kontrakan saya yang cukup jauh dari meeting point kosan Afri. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari laptop topek. 

“ayo jeh, tangi siap-siap”
“koen gak turu pek ?”
“gak, cek gak kawanen, hehe”
“gendeng koen!”

Tergopoh-gopoh saya menyiapkan perlengkapan dan segera menuju kosan Afri. Namanya juga cewek, persiapan setengah mati lamanya. Jadinya kami berangkat jam setengah 6 dari kesepakatan awal jam 4. Dengan 3 sepeda motor, Topek berboncengan dengan Sukma, Saya dengan Meong, dan Suhar dengan Afri. Sesaat sebelum berangkat, personel kami bertambah satu orang yaitu sang cewek strong, Titin. Dia mengendarai beat putihnya sendiri menempuh perjalanan panjang tanpa digantikan sedikit pun.

Destinasi pertama yang akan dituju yaitu alun-alun kota Blitar. Tetapi sebelum memasuki kota Blitar kami sempat berfoto ditengah bendungan Karangkates. Semacam danau buatan yang luas dan dikelilingi hijau pepohonan disekitarnya, cocok untuk sekadar bersantai sembari menunggu ikan memakan umpan. Setelah cukup banyak frame tersimpan, kami pun melanjutkan perjalanan. 

Jalanan diatas bendungan Karangkates
Nasi pecel dan soto di warung sekitar alun-alun kota Blitar menjadi menu sarapan kami. Cukup nikmat, mungkin karena perut yang sudah meronta minta diisi. Selepas sarapan kami sempat berjalan-jalan di alun-alun sekedar mengambil beberapa jepretan. Momen yang sayang untuk dilewatkan. 

Bersantai sejenak di alun-alun kota Blitar
Kilometer demi kilometer terlewati, entah sudah berapa gapura kami susuri. Perjalanan sempat terhambat karena hujan deras yang turun, minimnya navigasi membuat kami agak tersesat di daerah Tulungagung. Beruntung kami segera menemukan jalan yang benar dan melanjutkan perjalanan kembali.

Setelah melintasi jalan berkelok-kelok di tengah hutan Ponorogo, akhirnya kami sampai di gerbang masuk Kabupaten Pacitan. Terpampang jelas tulisan selamat datang yang membuat hati kami cukup bersorak.

Tugu perbatasan kab. Pacitan
Tapi perjalanan tidak berakhir disini, untuk mencapai rumah nenek Afri masih membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam setengah. Selama berada di Pacitan kami bermalam di rumah nenek Afri karena lokasinya yang dekat dekan destinasi wisata yang akan kami kunjungi.

Tepat pukul 6 sore akhirnya kami tiba di rumah nenek Afri. Saya dan Suhar segera mengeluarkan isi tas yang basah kuyup akibat diterpa hujan tanpa henti sejak masuk Kota Pacitan. Setelah makan malam, kami beristirahat untuk mulai berwisata esok hari.




Jauhar Web Developer