Rabu, 01 Juli 2015

Berjalan Diantara Teduhnya Mangrove BeeJay Bakau Resort

Probolinggo, kota yang terkenal dengan mangganya sebenarnya memiliki potensi wisata yang cukup tinggi. Salah satu destinasi wisata yang baru-baru ini mulai booming yaitu BJBR. Namanya mungkin agak asing bagi para pelancong dari luar daerah, begitupun saya. saat pertama kali mendengar namanya saya kira PJPR. eh ternyata telinga saya yang agak terganggu, salah siapa hampir sama namanya. hehe

"heh ? PJPR ? Ngapain main ke dinas ?"


Nama BJBR merupakan akronim dari BeeJay Bakau Resort. Dari namanya sudah terlihat bahwa BJBR ini merupakan daerah konservasi bakau atau mangrove yang ada di pesisir kota Probolinggo.

Hutan mangrove memiliki manfaat yang bagus untuk kesejahteraan lingkungan tepi pantai, antara lain perakaran mangrove dapat dijadikan daerah konservasi bagi fauna kecil seperti udang, ikan, siput dan hewan kecil lainya. Sehingga tak ayal banyak penduduk sekitar yang turun ke perairan guna mencari fauna laut di antara perakaran mangrove.

Selain itu, keberadaan hutan mangrove dapat menjaga pantai dari erosi dan abrasi oleh gelombang laut. Mengingat posisi dari BJBR berada di bagian selatan jawa yang dikenal dengan ganasnya gelombang yang datang.


Jalan setapak di tengah hutan mangrove
Estetika mangrove yang dipadukan dengan jalan setapak dari kayu merupakan daya tarik BJBR yang mampu menarik ratusan pengunjung tiap harinya. Karena memang tempat ini sangatlah "fotogenik". Di beberapa sudut terlihat kursi-kursi kecil serta gazebo yang dapat digunakan sebagai tempat beristirahat untuk sekedar mengobrol ataupun menikmati semilirnya angin laut.

* * *
Bagi wisatawan yang juga merupakan penikmat kuliner, di tempat ini tersedia resto yang menyediakan berbagai olahan sea food yang cukup memikat. "Rest O tent" siap memanjakan lidah para pengunjung dengan berbagai menu olahan lautnya. Lokasi resto pun cukup strategis, berada diantara pepohonan bakau dengan pemandangan  lautan lepas. Sensasi makan epik di pesisir pantai selatan.

Selesai urusan perut,  kita dapat melewatkan waktu sore hari baik sekedar berjalan atau berfoto mengejar sunset. Semilir angin pantai akan selalu setia berpadu dengan gemerlap lampu saat hari menjelang gelap. Tak perlu khawatir dengan tempat bermalam, karena di BJBR telah tersedia bungalow-bungalow yang dapat kita sewa permalamnya. Sensasi menginap di tepi pantai dengan bangunan yang dibuat 90% nya dari kayu kelapa.

Salah satu bungalow yang juga dihubungkan dengan jalan kayu setapak
Bangungan-bangunan yang ada disini memiliki keunikan dari segi arsitektur, tata letak maupun bahan penyusunnya. Hampir setiap bangunan yang ada tersusun dari kayu, bukan dari batu bata. Selain bungalow dan restoran, disini juga tersedia meeting room serta cafe. Bangunan yang unik menurut saya adalah cafe. Kapal yang lazimnya dipakai oleh para nelayan, disulap interiornya sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk nongkrong sembari menikmati secangkir kopi. 

Seperti wisata hutan mangrove umumnya, jalan setapak kayu dibuat diantara pepohonan mangrove dan menghubungkan setiap bangunannya. Pada tepi jalan setapak terdapat lampu yang berjajar rapi dengan dudukan yang terbuat dari bambu. Jalan setapak kayu ini juga berfungsi sebagai track perjalanan bagi pengunjung yang ingin sekedar berjalan diantara teduhnya mangrove.
 
Bangunan diantara teduhnya mangrove
Dibagian depan BJBR terdapat area bermain keluarga seperti sepeda air, kano dan juga gazebo-gazebo kecil yang dapat digunakan untuk bersantai. Untuk dapat bermain sepeda air dan juga kano pengunjung dapat menyewa dengan harga yang relatif terjangkau. Umumnya anak-anak lah yang memadati area ini, tetapi rata-rata mereka hanya bermain sepeda air berukuran mini yang memang disediakan untuk anak kecil. Ada juga sepeda air berukuran besar yang dapat dinaiki 4 orang, cocok untuk satu keluarga. Untuk anak muda biasanya mereka lebih suka bermain kano yang memiliki kapasitas untuk 2 orang.
 
Caca dan Mbak Intan yang bermain kano

Saat saya bertandang kesini, masih banyak lahan yang masih kosong dan sepertinya masih dalam rencana pengembangan wahana permainan yang lain. Tetapi tetap saja tempat ini merupakan tempat yang cocok sebagai destinasi wisata keluarga atau sebagai rujukan berkunjung jika hendak mengeksplore kota Probolinggo.






Jumat, 26 Juni 2015

Damai Pagi Di Tepi Danau Sunyi

Banyak orang yang bertandang menuju dieng untuk sekedar mengejar indahnya sunrise. Beberapa tempat memang terkesan menarik untuk memandang sang surya muncul di ufuk timur. Mendengar kata sunrise dan dieng tentu Si Kunir dan Gunung Prau adalah destinasi pertama yang terlintas. Tetapi, adakah yang berfikiran untuk menikmati sunrise dari Ranu Kumbolonya jawa tengah ?
Photo Credit : Rifqy Faiza Rahman | Papanpelangi.co
Sepeda motor yang kami tumpangi mulai menderu dihajar tanjakan berbatu yang cukup terjal, diselingi rintik hujan "kletik" dan suasana dingin dataran tinggi dieng. Destinasi pada hari kelima Journey to the west kali ini adalah Telogo Dringo. Telaga cantik dengan bukit-bukit yang mengapit bak Ranu Kumbolo yang ada di Gunung Semeru. 

Telaga ini berada di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Lokasinya memang agak jauh dari kompleks wisata dieng, penunjuk arah menuju tempat ini juga masih minim. Satu-satunya penunjuk arah kami temui  ketika akan masuk kawasan wisata kawah candradimuka. Karena itu lah, kami sempat kebingungan saat menemui persimpangan tepat sebelum masuk telaga. Beruntung masih ada warga sekitar yang dapat kami tanyai mengingat sepinya jalanan menuju tempat ini.
 
"Monggo mas, cek aku isok melok ngiyup (tertawa lepas)"

Begitulah kata salah satu pemancing saat saya meminta ijin untuk mendirikan tenda di sekitaran danau. Hujan memang mulai lebat, beruntung kami berhasil mendirikan tenda tepat sebelum hujan benar-benar lebat. Satu-satunya tenda yang berdiri di pinggiran danau, tanpa tetangga tanpa pelancong yang lain. Yang ada hanyalah warga lokal yang datang memancing dan pulang ketika hari mulai gelap.

Laksana surga pagi ini

Pagi di tepi Telaga Dringo
Photo credit :Rifqy Faiza Rahman | papanpelangi.co
Pagi belum sepenuhnya hinggap, mungkin dapat dibilang masih malam. Mas Rifqy sudah keluar tenda sambil menenteng tripod dan kameranya. Saya lebih tergoda untuk mengeluarkan kompor sekedar membuat kopi. Bintang yang gemerlap memang sangat cocok dinikmati dengan secangkir kopi. Setelah puas segera ku menyusul Mas Rifqy yang telah berdiri tegap di belakang kamera siap untuk mengambil gambar dari berbagai sudut.

Dingin tak lagi terasa kala sang surya perlahan muncul. Gradasi warna yang tak mungkin diciptakan manusia menghipnotis mata dan sukses membuat terpana setiap insan yang kebetulan hanya ada saya dan mas Rifqy disana. Andai saja vixion putih tunggangan kami dapat bicara mungkin akan menyatakan hal yang sama. Sungguh goresan tinta yang tak akan pernah ditemukan di lain tempat. 

Belum genap sang surya menampakkan diri, Mas Rifqy telah mengajak menyiapkan sarapan. Bukan tanpa sebab, melainkan karena banyak destinasi yang belum dikunjungi sedangkan malam ini kami harus sudah tiba di Solo dan menginap di rumah teman yang ada disana.

Gravitasi tempat ini terasa sangatlah kuat. Tak rela rasanya untuk melangkahkan kaki pergi dari sini. Damai suasana serta lembutnya angin yang berhembus semakin membuat diri terlena untuk berlama disini. Tak ada deru mesin kendaraan bermotor, tak ada bising perkotaan. Sungguh tempat yang tepat untuk mengistirahatkan fikiran. Kami pun mengalah, sangat rugi jika suasana seperti ini dilewatkan. Kopi pun kembali menemani pagi cerah ini di tepian danau.

Waktu telah menunjukkan pukul 08.30 WIB yang artinya mau tidak mau kami harus segera berkemas dan melanjutkan perjalanan. Satu persatu barang didalam tenda kami keluarkan untuk kembali ditata didalam carrier 75+10 yang kami bawa. Sembari menata barang kami berdua asyik berbincang hingga tanpa sadar tenda kami melayang tertiup angin dan hampir tercebur ke dalam danau. Dengan cepat ku berlari mengejar tenda dan menangkapnya tepat sebelum masuk ke bibir danau. Kejadian inilah yang membuat pagi kami penuh dengan tawa.

Foto bareng sebelum beranjak
Photo credit :Tripod sama kameranya Mas Rifqy
Setelah genap barang masuk ke dalam carrier, Mas Rifqy kembali mengeluarkan kamera dan tripodnya untuk mengambil foto terakhir sebelum meninggalkan tempat ini. Vixion putih juga kembali bersiap untuk membawa kami menuju destinasi-destinasi selanjutnya. Sebelum beranjak menuju Solo, kami sempat mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di kawasan dieng seperti Kompleks Candi Arjuna, Kawah Sikidang dan Telaga Warna yang mungkin dapat saya ceritakan di lain kesempatan.

Minggu, 21 Juni 2015

Balada Ranu Istimewa

Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/)
Rembulan terlihat menawan malam ini. Bias langit gelap menyelimuti sebagian atap dunia. Bintang sedikit terlihat tertutup polusi cahaya perkotaan.

Ingat betul tatkala gemerlap bintang menemani secangkir kopi di bibir danau dambaan para pelancong. Ranu Kumbolo, begitu mereka menyebut. Tenang malam mengisyaratkan rasa capai yang dialami para pendaki lain yang hendak naik ataupun hendak turun. Diselingi bisikan hewan nocturnal yang sibuk mencari mangsa, rezeki yang diberikan oleh sang pencipta.


Ada rasa kagum sekaligus kecewa yang ku rasa. Memang gulungan kecil riak air terlihat menawan walau malam menggelapkan pandangan, tetapi padang rumput yang mulai mengelupas tak kan bisa membohongi suasana. Indah semak berbunga tak lagi banyak ditemukan. Lembah nan hijau mulai ternoda warna coklat khas tanah.

Kabut tipis menyelimuti pagi ranu
(Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/))
Mentari yang muncul di ufuk timur selalu bisa menyita perhatian setiap insan. Dua bukit yang berdamai dengan ranu menyambut kedatangan mentari dengan senyum yang terlukis  diantara keduanya. Hangatnya memberi kebahagiaan pada air ranu yang diekspresikan dengan lompatan-lompatan kecil sehingga tercipta kabut tipis bagai awan yang menyelimuti permukaan ranu.
 
Bising hewan nocturnal mulai tergantikan riuh para pendaki di masing-masing rumah siput mereka. Beberapa mencoba berdamai dengan air ranu yang sepertinya cukup dingin untuk sekedar digunakan membasuh muka. Separuh mereka memilih duduk terdiam didepan kompor dengan cangkir mengepul di tangan mereka.

 
Rindang pepohonan bak penawar pahit rasa kecewa. Jernih air mulai ternoda dengan warna kecoklatan tanah. Genangan minyak cukup jelas terlihat tak akur dengan bening ranu. Ikan-ikan kecil tak mau lagi bermain di tepian. Kail dan senar terlihat menjalar ke tengah danau ditinggal begitu saja tanpa adanya tanggung jawab.

Setitik kehidupan sekitar ranu
(Photo credit :Rifqy Faiza Rahman (http://papanpelangi.co/))
Ironi terlihat mengingat kesakralan danau yang selalu dijaga sebagian orang. Air suci yang diagungkan oleh beberapa umat. Ternoda oleh tingkah manusia yang tak bermoral. Penikmat alam yang hanya egois memenuhi hasrat. Yang hanya turut menyumbang kebobrokan bukan malah turut melestarikan. Entah kapan Sang Semeru dapat berbenah. Entah kapan ranu dapat kembali bersolek. 

Tak ada yang salah memang jika setiap insan ingin turut menikmati keindahannya. Bagaimanapun terdapat aturan tidak tertulis yang hanya berdasar pada  pribadi setiap orang. Kepintaran dan ilmu pengembangan diri yang tak akan didapatkan di bangku sekolahan. Inti dari sebuah kehidupan sosial. Menghargai sesama ciptaan tuhan walau sebuah makhluk yang tak kan terfikirkan untuk di hargai. Karena sejatinya dia pun turut menjadi tiang kehidupan, tonggak utama habitat fauna yang ada.


"semoga keindahan malamnya turut memberi kesan terhadap cerahnya siang"
 

Kamis, 11 Juni 2015

Inikah Fungsi Gunung ?


Cukup lama sepertinya ku tak meraba blog usang ini. Mohon dimaklumi saja lah, proposal magang dan berbagai laporan praktikum mengantri untuk segera di selesaikan.

Perlahan ku mengenang bagaimana proses pertama kali ku berkenalan dengan kegiatan mendaki. Gunung Arjuno via purwosari, track pertama yang kulalui dalam pendakian perdana yang dapat dibilang "Pendakian beneran" karena sebelumnya aku juga pernah mendaki gunung Panderman, tetapi hanya sebagai latihan fisik karena setelah mencapai puncak langsung turun kembali dengan hanya menenteng air dan roti sebagai bekal. Banyak orang bilang kalau seperti itu namanya tek-tok, entah dari mana asal usul kata tersebut.

Well, kembali lagi pada topik di awal. Pertama kali saya mendaki esensi yang saya rasakan dari kegiatan tersebut adalah ketenangan, kejernihan pikiran serta relaksasi batin. Gunung notabene merupakan tempat tirakat, pengasingan diri dari hiruk pikuk dunia. Tempat bagi orang yang ingin melupakan sejenak dunia ramainya hanya demi fokus untuk menggapai tujuan seperti mendekatkan diri pada sang pencipta, Mengistirahatkan fikiran yang lelah dirundung suara bising pergulatan dunia.

Banyak raja maupun priyayi zaman dahulu yang mencari ketenangan jiwa dengan bermeditasi di atas gunung. Bahkan ada pula yang sampai "mukso" atau menghilang karena telah mencapai tingkat abadinya setelah bertapa di atas gunung. Sungguh gunung bukan merupakan tempat sembarangan yang hanya tercipta untuk memenuhi hasrat manusia.

Indah bentang alam serta kesempurnaan pemandangan memang merupakan magnet yang kuat bagi para manusia yang haus akan objek keindahan. Tapi bukankah relaksasi dan ketengan pikiran juga didapat salah satunya dengan memandang objek keindahan tersebut ? Adakah yang berfikir bahwa sejatinya keindahan tersebut diciptakan bagi insan yang ingin mencapai ketenangan abadi ? 

Siapakah yang tidak rindu dengan suasana tenang dan hawa "adem ayem" gunung. Mungkin semua yang pernah merasakan akan mendapat candu untuk kembali. Benar-benar suasana yang pas untuk melakukan ibadah atau sekedar bertapa mengingat kepadaNya. Adakah yang mengira bahwa tujuan utama diciptakannya gunung adalah untuk beribadah mengingat padaNya.

Bullshit memang jika saya sendiri tidak terinfeksi candu dari gunung. Tetapi sebisa mungkin seharusnya kita menghormati atau paling tidak meng"ada"kan tuan rumah yang menempati gunung tersebut. Bukankah dalam ajaran agama telah diajarkan supaya kita menghargai serta menghormati sesama ciptaan ?. Bukan hanya manusia yang memiliki bumi ini. Banyak makhluk hidup lain yang kita anggap mereka hanyalah benda mati atau bahkan kita anggap tidak ada.
Tuan rumah yang berjalan tuk mengais makanan diatas tumpukan sampah para tamu
Sungguh percuma jika hanya berambisi menaklukan puncak dan mencari bukti agar orang lain terkagum atas pencapaian yang mungkin hanya dapat dirasakan segelintir orang. oke lah kalo kita hidup sepuluh sampai dua puluh tahun yang lalu. Masa dimana peralatan masih minim, jalan masih tertutup semak, dan penunjuk arah hanyalah fenomena alam. Sungguh kontras dengan hari ini yang mana peralatan semakin lengkap dan memadai.

Mendaki gunung telah kehilangan esensinya. Banyak orang beranggapan bahwa gunung merupakan tempat wisata seperti umumnya. Ya, tempat wisata. Sudut pandang ini yang membuat gunung tak lagi sakral dan perlu dihormati. Hingga banyak sekali niat buruk yang memanfaatkan ketenangan dan sepinya gunung.

Tentu masih ingat santernya berita yang menyatakan banyak kondom ditemukan di kawasan B29. Apa yang ada di benak kalian ? Freak bukan ?. Tak mungkin ada barang seperti kecuali memang ada niat sebelumnya. Bagaimana jika kalian adalah tuan rumah dan rumah kalian digunakan untuk hal tidak bermoral seperti itu ? Tentu kalian akan marah besar.
Kelakuan para tamu yang tak bermoral
Mungkin perumpamaan tersebut terlalu frontal untuk diutarakan. Tetapi ingat, itu adalah realita yang terjadi. Gunung bukan lagi tempat menempa jiwa dan mengasah kemantapan hati. Fungsinya telah bergeser sebagai tempat bersenang-senang dan berpesta bahkan melakukan hal yang dilarang agama.

Walaupun demikian, memang perlu usaha untuk dapat mendaki gunung. Tak sedikit tenaga yang harus dikeluarkan untuk mencapai destinasi yang hendak dituju di atas gunung. Fisik yang kuat serta tubuh yang fit memang harus disiapkan sebelum memulai pendakian. Tak terkecuali pengetahuan serta keterampilan juga harus dimatangkan jika tidak ingin celaka di alam bebas.

Kembali lagi, mungkin akibat sudut pandang yang telah berbelok yang membuat para pendaki hanya menyiapkan tekad tanpa ada persiapan. Menurut saya itu bukan lagi tekad tetapi itu disebut nekat. Pernah  saya dan teman-teman Gamananta didatangi 2 orang perwakilan rombongan dari kota metropolitan saat kami bersiap untuk summit menuju mahameru,

Permisi mas, mau muncak ke mahameru ya ?
Iya mas, jawab mas rifqy
Boleh kami dan rombongan gabung mas ? soalnya kami tidak ada yang tahu jalur menuju Puncak, ini pertama kalinya saya kesini.

Saya yang berada di samping mas rifqy tentu langsung berfikir negatif. Apa sih tujuan mereka sampai puncak ? Berfoto dan memamerkan ke medsos ? Hanya itu kah? Sungguh tujuan yang memuakkan. Mungkin beribu-ribu orang yang akhir ini memadati TNBTS memiliki tujuan demikian, hanya ingin menunjukkan bahwa dia mampu berdiri di atas puncak tertinggi di pulau jawa.

Arogansi demikian bukanlah hal yang perlu dibanggakan. Hanya demi sebuah foto, nyawa mereka pertaruhkan dengan tidak melakukan persiapan yang matang. Masih hangat berita tentang mahasiswa yang terjun bebas ke kawah merapi hanya demi foto yang jika salah pencet juga terbuang percuma ke recycle bin. Seharusnya hal demikian tidak perlu terjadi.

Sepertinya memang sudah saatnya kita harus kembali mawas dan berhati-hati jika hendak bertandang ke gunung. Banyak hal yang perlu diperhatikan mulai dari kesiapan fisik dan mental serta perbekalan dan perlengkapan yang memadai untuk hidup di alam bebas. Tidak lupa pernghormatan terhadap para tuan rumah juga perlu dilakukan supaya mereka juga segan terhadap kita. Secuil harapan dari saya, gunung bukan hanya dianggap sebagai tempat wisata, tetapi gunung merupakan tempat sakral yang diciptakan dengan tujuan pengasah batin dan penempaan jiwa untuk menjadi pribadi bermartabat mulya. 

"Sebuah negara tidak akan kekurangan sosok pemimpin jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung dan lautan" - Henry Dunant

Minggu, 26 April 2015

Menyapa Kembali Ketenangan Lali jiwo [Part 3] (End)

Photo Credit : Anggraeni Ayu S.

Summit Attack
Sedikit bermalasan saat Mas Rifqy membangunkanku. Sontak terkejut saat jam di tangan telah menunjukkan pukul 01.00 WIB. Dengan segera ku membangunkan kawan lainnya untuk bersiap summit attack. Awalnya kami berniat untuk memulai perjalanan pada pukul 1 tepat, tetapi karena terlalu nyaman tidur akhirnya kami terpaksa berangkat pada pukul 02.00 WIB.

Rembulan bersinar cerah malam ini. Meskipun demikian jalanan yang rimbun memaksa kaki terus meraba-raba mencari jalan. Senter yang kubawa sempat mati disaat jalan mulai dirasa sulit. Alhasil beberapa kali jatuh bangun tersandung akar yang menjalar. Untungnya jalanan belum benar-benar menanjak, tak bisa kubayangkan jika ku terpeleset di track selanjutnya yang memiliki kemiringan sangat curam.

Memasuki hutan jalanan mulai bercabang. Tetapi menurut Mas Rifqy, walaupun bercabang tetap saja bertemu di bawah Pasar Dieng. Pasar Dieng merupakan tempat datar yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda. Tetapi, hanya bagi pendaki bernyali kuat yang berani mendirikan tenda disini. Pasalnya banyak cerita mistis berkaitan dengan tempat ini. Cerita yang paling rame terdengar yaitu adanya pasar yang menjual berbagai barang, bahkan perlengkapan outdoor seperti jaket. Tetapi penjualnya bukanlah manusia. Di Pasar Dieng juga terdapat beberapa batu nisan yang terukir nama para pendaki yang meninggal ketika mendaki Arjuno.

Salah satu batu nisan yang ada di pasar dieng
Mentari sudah mulai menampakkan diri, tetapi apa daya jalan mencapai puncak masihlah jauh. Sunrise kami dapat sebelum mencapai Pasar Dieng. Meski demikian, semburat kuning emas di langit sangatlah indah. Cahaya matahari baru hari ini perlahan menembus dedaunan cemara gunung yang memadati tempat ini. Angin kencang tak kuhiraukan, kalah sibuk dengan urusan jepret sana jepret sini.

Sunrise tepat di bawah pasar dieng
Setapak demi setapak melangkah akhirnya ku menjejakkan kaki di puncak Ogal-Agil. Memang kali ini ku berjalan santai karena tidak ada batasan waktu untuk mencapai puncak Ogal-Agil, tidak seperti Mahameru yang harus turun sebelum pukul 10.00 WIB. Camilan yang ku bawa segera diserbu teman-teman yang ternyata telah mencapai puncak jauh didepanku. 

Sayang sekali puncak kali ini diselimuti kabut. Foto yang didapat pun akhirnya seperti berlatar tembok, putih semua. Tetapi terlihat diwajah teman teman mereka tetap merasa senang telah berhasil berdiri di atas batu Ogal-Agil puncak Arjuno ini. Rasa letih selama perjalanan pun terobati dengan semilir angin puncak dan dinginnya kabut yang menyelimuti.

Foto bersama di puncak Ogal-Agil
(Photo credit : Rifqy Faiza Rahman | http://papanpelangi.co/)
Hari 3, Kembali menuju kokopan
Kaki belepotan. Itulah kesan pertama ketika telah sampai kembali di Lembah Kijang. Coklat lumpur membekas di kaki akibat jalanan basah karena embun pagi. Dingin lembah kijang ku abaikan ketika harus mencuci kaki serta mengambil wudlu. Meski telah tersentuh air, bekas lumpur tetap saja bandel tak mau hilang. Bagaimana lagi, yang penting sudah suci lah untuk menunaikan solat dzuhur.

Menu siang ini spesial, sandwich isi wortel dan sosis dengan taburan abon. Cukup untuk mengisi perut sampai nanti malam karena masak ribet selanjutnya akan dilakukan di kokopan. Setelah packing selesai kami kembali melangkah turun. Didepan saya berjalan santai dengan Mas Kur. Tanpa terasa ternyata telah meniggalkan jauh rombongan dibelakang. Tak apalah, karena ku berfikir harus cepat sampai di kokopan untuk booking tempat mendirikan tenda. Karena banyak juga pendaki yang turun menuju kokopan, kalau tidak cepat bisa-bisa tidak mendapat tempat untuk mendirikan tenda.

Pukul 17.00 WIB saya dan Mas Kur tiba di kokopan. Suasana kokopan belum begitu padat ketika tenda yang ku bawa mulai berdiri. 15 menit berselang Mas Rahmat dan Nata menghampiri kami yang duduk santai di depan tenda. Senja di kokopan ditemani gerhana bulan yang sangat jelas terlihat tanpa adanya awan mendung sedikitpun.

Cerah langit malam di kokopan
(Photo credit : Rifqy Faiza Rahman | http://papanpelangi.co/)

Setelah seluruh rombongan sampai, kami segera menyiapkan bahan makanan untuk santapan malam ini. Kare telur, kering tempe dan nugget adalah menu pengisi perut sebelum beristirahat di tengah rame riuhnya kokopan. Kartu remi menemani sebelum kami benar-benar terlelap merebahkan rasa letih tubuh masing-masing.

Hari 4, Pulang
Pagi dikokopan kembali di sapa dengan indah mentari yang baru menampakkan diri. Hangat sinarnya meredakan dingin yang amat dibandingkan dengan malam-malam yang lalu. Hari ini adalah hari terkahir sebelum kembali menuju peradaban.

Pagi cerah di kokopan, terlihat gunung Pawitra berselimut awan
Biru sangat langit hari ini. cerah sangat pemandangan kala ini. Bahkan gunung Pawitra di sebrang sana terlihat menjulang  melintasi awan. Nesting kembali berjajar di depan tenda. Beberapa gelas juga berbaris rapi menunggu air yang hendak mendidih. Kopi siap menemani sembari nesting yang lain menanak nasi untuk bekal perjalanan turun hari ini.

Satu persatu tenda di robohkan. Cepat-cepat kami segera mengemas barang kedalam carrier masing-masing. Tak ingin terlalu siang meninggalkan kokopan karena jalanan turun minim naungan sehingga jika terlalu siang meninggalkan kokopan tentunya terik matahari amatlah menyengat. Setelah berdoa bersama kami mulai melangkahkan kaki kembali kepada peradaban dan rutinitas.


Senin, 20 April 2015

Menyapa Kembali Ketenangan Lali jiwo [Part 2]


Pagi indah menyapa Kokopan. Merah jingga corak langit pagi ini sangat menarik untuk dinikmati. Suasana kokopan kali ini tidak begitu menggigil dibandingkan saat pertama kali ku berkenalan dengan Arjuno beberapa bulan yang lalu.Suasana riuh lemah para pendaki yang memadati kokopan dengan berbagai aktivitas turut menyumbang suasana sibuk pagi ini.

Selepas menunaikan solat 2 rakaat segera ku berlari menuju Mas Rifqy dan Musthofa yang telah menyiapkan kamera masing-masing untuk melukis keindahan sunrise dalam klise digital mereka. Tak mau tertinggal segera kutekan tombol shutter berkali-kali sembari mencari objek yang pas.

Satu demi satu teman-teman gamananta mulai keluar dari tenda, menuju sumber air untuk sekadar mengambil wudlu. Kompor nesting sudah mulai berjajar, satu untuk memasak air dan 2 untuk menanak nasi. Dengan cepat Mas Rifqy mulai menyeleksi kangkung untuk sarapan pagi ini. Anggrek dan Afri mengupas bawang merah dan bawang putih untuk penyedap menu masakan oseng kangkung. Dari dalam tenda ku mengeluarkan kering tempe yang telah dibuat dirumah kemarin.

Ditengah kesibukan pagi, teman-teman dari Jember mulai keluar dari tenda. Genap berenam belas sudah kelompok pendakian ini. Lima teman dari jember awalnya berniat untuk melakukan pendakian bersama semenjak dari pos tretes, tetapi karena kendala teknis maka kami rombongan dari Malang berangkat dulu ke Kokopan dan mereka menyusul beberapa jam kemudian.

Urusan perut telah terpenuhi, segera kami merobohkan tenda dan bersiap menuju Pos 4 Lembah Kijang. Disnilah destinasi berikutnya untuk kembali mendirikan tenda. Waktu yang diperlukan menuju Pos ini kurang lebih 4 jam. Setelah melakukan pemanasan, kami pun siap bergerak.

Hari 2, Kembali bergerak menuju Pos 4, Lembah Kijang


Jalan terjal berbatu jalur Tretes
Jalan berbatu kembali menyapa, panas terik siang ini membuat peluh semakin bercucuran. kemiringan semakin bertambah selepas gardu pintu masuk lalijiwo. Beruntung kabut perlahan memanjakan, dingin uap air kembali mengundang semangat. perlahan namun pasti kaki terus merayap.

Kali ini ku berjalan didepan bersama Mas Rahmat dan Puput beserta teman-teman dari jember. Setiap bertemu tanjakan teman-teman jember selalu bertanya "apakah ini tanjakan asu ?". Tanjakan asu adalah salah satu tanjakan di arjuno dengan kemiringan ekstrim yang sangat panjang, sehingga banyak membuat pendaki kelabakan melewatinya.

4 jam berselang, terlihat ada rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan jerami yang berjajar rapi dengan sumber air yang mengalir kedalam sebuah kolam. Inilah pos 3, Pondokan. Dinamakan Pondokan karena disinilah para penambang belerang beristirahat dan mengumpulkan belerang sebelum dibawa turun menggunakan jeep. 


Para penambang mendapatkan belerang-belerang ini dari Gunung Welirang yang tepat berada di sebelah Gunung Arjuno. Disinilah titik percabangan antara jalur menuju Gunung Welirang dan jalur menuju Gunung Arjuno. Banyak orang yang mendirikan tenda di pos ini, tetapi rata-rata destinasi mereka adalah Gunung Welirang. Sebab jarak menuju puncak Welirang dari pos ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 jam. 

Bagi yang akan menuju Puncak Arjuno kebanyakan lebih memilih mendirikan tenda di Lembah Kijang. Disamping suasana yang lebih nyaman, untuk menuju Lembah Kijang hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit dari pondokan. Sebab itu lah, terus ku pacu langkah melewati sisi kiri pondokan untuk mencapai Lembah Kijang.

Hujan turun deras saat matahari mulai tergelincir. Jam menunjukkan pukul 13.30 WIB ketika tenda yang ku bawa telah berhasil berdiri. Dari kejauhan teman-teman Jember juga berpacu untuk segera mendirikan tendanya. Lama menanti, Puput akhirnya terlelap dan Mas Rahmat pun mulai merebahkan badannya. Akhirnya kami bertiga pun tertidur pulas.

Teriakan Anggrek dan Mas Rifqy membangunkanku. Cukup lama sepertinya aku tertidur, saat ku toleh jam tangan ternyata sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Beruntung hujan sudah mulai mereda dan 2 tenda lafuma akhirnya ikut berdiri bersampingan. Sore hari di Lembah Kijang diisi dengan bermain kartu dan memasak sop sebagai cadangan tenaga untuk summit attack dinihari nanti.

Minggu, 12 April 2015

Menyapa Kembali Ketenangan Lali jiwo [Part 1]

Alas Lali jiwo, Gunung Arjuno
Ini nih yang bikin minggu kemarin gak bisa posting. Gimana mau posting coba, di lebat hutan Lali jiwo gak ada sinyal, laptop aja gak bawa, gadget miskin baterai, ya sudahlah cuma bisa diem sambil terus jalan.

Preparing
Sedari siang Mas Kur dan Mas Rifqy telah sibuk di dapur untuk menyiapkan menu yang hendak di bawa dalam pendakian ini. Selain membawa bahan mentah, kami juga menyiapkan lauk siap saji dan tahan lama supaya dapat mengurangi beban.

Kamis sore 2 April 2015 berbondong-bondong teman-teman Gamananta tiba di LTS 10 untuk repacking dan membagi beban dalam tas carrier masing-masing. 11 orang yang berangkat dari Malang ada Oqi(saya), Mas Kur, Mas Rifqy, Mas Fendy, Mas Rahmat, Mas Daus, Musthofa, Nata, Puput, Anggrek dan Afri. Kejadian lucu menimpa Mas Daus saat tas carriernya terjamah oleh Mas Rony yang memiliki keahlian dalam melakukan seni packing sehingga tas carriernya pun dapat menampung banyak barang dan tentunya menjadi berat.

Selepas sholat isya' kami segera berangkat menuju Pos Tretes menggunakan sepeda motor. Perjalanan menuju Pos Tretes dari Kota Malang membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam. Setibanya di Pos Tretes Mas Kur segera menuju pusat perijinan untuk mengurus simaksi sembari yang lain melakukan persiapan dan pemanasan untuk meminimalisir kemungkinan cedera ataupun kram. Pukul setengah 10 kami siap berangkat. Tetapi sebelum itu, semua tim membentuk lingkaran dan berdoa untuk keselamatan dengan penutup jargon khas Gamananta yang dipekikkan keras-keras. GAMANANTA.. JI.. RO.. LU.. BUDAL !!!

Hari 1, Menuju  Pos 2 Kokopan
Pos 2, Kokopan
Melewati jalan di belakang pos perijinan kami bersebelas mulai melangkah untuk menuju pos 1 Pet Bocor. Kebetulan malam itu bulan bersinar terang, sehingga tanpa senter jalan sudah jelas terlihat. Di barisan belakang, saya berjalan pelan menemani Afri dan Puput yang sesekali berhenti untuk beristirahat. Belum lama kami berjalan, anjing menggongong secara tiba-tiba dan mengagetkan Afri yang seketika ketakutan, tetapi justru menghadirkan gelak tawa. Mungkin anjing tersebut terganggu dengan derap langkah kami bersebelas di tengah sepinya malam.

Sekitar 15 menit berjalan, terlihat ada warung kecil di kanan jalan. Itulah pos pertama, Pet Bocor. Cukup singkat memang waktu tempuh dari pos perijinan menuju pos 1 ini. Singkatnya waktu bukan berarti mudahnya medan untuk dilewati. Untuk menuju pet bocor tanjakan-tanjakan tajam siap untuk menguji mental para pendaki. Tak heran banyak pendaki yang beristirahat cukup lama di pet bocor.

Sembari menunggu teman-teman lain yang masih di belakang saya mengisi 2 botol air mineral tanggung di sumber air yang merupakan retakan dari pipa yang menyalurkan air dari atas gunung menuju pemukiman. Karena itulah pos 1 ini dinamakan pet bocor atau pipa bocor. Teman-teman yang baru datang juga segera mengisi botol mereka masing-masing sebagai persiapan menuju kokopan yang memiliki waktu tempuh sekitar 4 jam.

Jalan rabat telah berganti makadam. Inilah medan sebenarnya pendakian Arjuno jalur Tretes. Jalan yang terus menanjak ditambah beban di punggung sukses membuat kaki semakin gemetar. Sebenarnya keseringan berhenti justru membuat badan semakin kelelahan. Tetapi mau bagaimana lagi, dibelakang saya dan puput harus berjalan pelan dan menemani Afri yang sering beristirahat karena kecapaian. Maklumlah ini merupakan pengalaman pertamanya meniti tingginya gunung.

Jauh sudah kami bertiga tertinggal dari rombongan. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Gerimis yang turun semakin menambah beratnya langkah. Kali ini bukan lagi capek yang menjadi momok utama perjalanan, ngantuk dan lapar lah masalah utama yang sangat menghambat derap langkah. Hiburan malam ini, cukup sepotong coklat jahat (Beng-beng) dan gemerlap lampu kota dari atas ketinggian bak kemilau bintang.

Angin mulai berhembus, menandakan kami telah keluar dari hutan. Suara air dari Pos 2 Kokopan terdengar dari kejauhan. Yap, Pos 2 sudah dekat. Saya mulai mempercepat langkah diikuti Afri dan Puput. Pukul 01.30 dini hari akhirnya saya sampai di Kokopan. 2 tenda lafuma warna kuning telah berdiri berdampingan. Teman-teman yang lain memang telah sampai sedari tadi. Setelah mengeluarkan isi carrier dan mengganti baju yang basah saya segera merebahkan badan, beristirahat untuk kembali berjalan esok hari.